Selasa, 01 Maret 2011

Syeikh Abdul Qodir Jaylani (Sulthonul Auliya)


Syeikh Abdul Qodir Jaylani (Sulthonul Auliya)


Sulthanul Auliya Syekh Abdul Qadir Al-Jailani Rahimahullah, (bernama lengkap Muhyi al Din Abu Muhammad Abdul Qadir ibn Abi Shalih Al-Jailani). Lahir di Jailan atau Kailan tahun 470 H/1077 M kota Baghdad sehingga di akhir nama beliau ditambahkan kata al Jailani atau al Kailani. Biografi beliau dimuat dalam Kitab Adz Dzail ‘Ala Thabaqil Hanabilah I/301-390, nomor 134, karya Imam Ibnu Rajab al Hambali. Ia wafat pada hari Sabtu malam, setelah magrib, pada tanggal 9 Rabiul akhir di daerah Babul Azajwafat di Baghdad pada 561 H/1166 M. Bila dirunut ke atas dari nasabnya, beliau masih keturunan Rasulallah Muhammad SAW dari Hasan bin Ali ra, yaitu Abu Shalih Sayidi Muhammad Abdul Qadir bin Musa bin Abdullah bin Yahya Az-zahid bin Muhammad bin Dawud bin Musa Al-Jun bin Abdullah Al-Mahdi bin Hasan Al-Mutsana bin Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib ra.
Masa Muda
Dalam usia 8 tahun ia sudah meninggalkan Jilan menuju Baghdad pada tahun 488 H/1095 M. Karena tidak diterima belajar di Madrasah Nizhamiyah Baghdad, yang waktu itu dipimpin Ahmad al Ghazali, yang menggantikan saudaranya Abu Hamid al Ghazali. Di Baghdad beliau belajar kepada beberapa orang ulama seperti Ibnu Aqil, Abul Khatthat, Abul Husein al Farra’ dan juga Abu Sa’ad al Muharrimi. Belaiu menimba ilmu pada ulama-ulama tersebut hingga mampu menguasai ilmu-ilmu ushul dan juga perbedaan-perbedaan pendapat para ulama. Dengan kemampuan itu, Abu Sa’ad al Mukharrimi yang membangun sekolah kecil-kecilan di daerah Babul Azaj menyerahkan pengelolaan sekolah itu sepenuhnya kepada Syeikh Abdul Qadir al Jailani. Ia mengelola sekolah ini dengan sungguh-sungguh. Bermukim di sana sambil memberikan nasehat kepada orang-orang di sekitar sekolah tersebut. Banyak orang yang bertaubat setelah mendengar nasehat beliau. Banyak pula orang yang bersimpati kepada beliau, lalu datang menimba ilmu di sekolah beliau hingga sekolah itu tidak mampu menampung lagi.
Murid-Murid
Murid-murid beliau banyak yang menjadi ulama terkenal, seperti al Hafidz Abdul Ghani yang menyusun kitab Umdatul Ahkam Fi Kalami Khairil Anam, Syeikh Qudamah, penyusun kitab fiqh terkenal al Mughni.

Perkataan Ulama tentang Beliau
Syeikh Ibnu Qudamah sempat tinggal bersama beliau selama satu bulan sembilan hari. Kesempatan ini digunakan untuk belajar kepada Syeikh Abdul Qadir al Jailani sampai beliau meninggal dunia. (Siyar A’lamin Nubala XX/442).
Syeikh Ibnu Qudamah ketika ditanya tentang Syeikh Abdul Qadir menjawab, ”Kami sempat berjumpa dengan beliau di akhir masa kehidupannya. Ia menempatkan kami di sekolahnya. Ia sangat perhatian terhadap kami. Kadang beliau mengutus putra beliau yang bernama Yahya untuk menyalakan lampu buat kami. Ia senantiasa menjadi imam dalam shalat fardhu.”
Beliau adalah seorang yang berilmu, beraqidah Ahlu Sunnah, dan mengikuti jalan Salaf al Shalih. Belaiau dikenal pula banyak memiliki karamah. Tetapi, banyak (pula) orang yang membuat-buat kedustaan atas nama beliau. Kedustaan itu baik berupa kisah-kisah, perkataan-perkataan, ajaran-ajaran, tariqah (tarekat/jalan) yang berbeda dengan jalan Rasulullah, para sahabatnya, dan lainnya. Di antaranya dapat diketahui dari pendapat Imam Ibnu Rajab.
Tentang Karamahnya
Syeikh Abdul Qadir al Jailani adalah seorang yang diagungkan pada masanya. Diagungkan oleh para syeikh, ulama, dan ahli zuhud. Ia banyak memiliki keutamaan dan karamah. Tetapi, ada seorang yang bernama al Muqri’ Abul Hasan asy Syathnufi al Mishri (nama lengkapnya adalah Ali Ibnu Yusuf bin Jarir al Lakhmi asy Syathnufi) yang mengumpulkan kisah-kisah dan keutamaan-keutamaan Syeikh Abdul Qadir al Jailani dalam tiga jilid kitab. Al Muqri’ lahir di Kairo tahun 640 H, meninggal tahun 713 H. Dia dituduh berdusta dan tidak bertemu dengan Syeikh Abdul Qadir al Jailani. Dia telah menulis perkara-perkara yang aneh dan besar (kebohongannya).
“Cukuplah seorang itu berdusta, jika dia menceritakan yang dia dengar”, demikian kata Imam Ibnu Rajab. “Aku telah melihat sebagian kitab ini, tetapi hatiku tidak tentram untuk berpegang dengannya, sehingga aku tidak meriwayatkan apa yang ada di dalamnya. Kecuali kisah-kisah yang telah masyhur dan terkenal dari selain kitab ini. Karena kitab ini banyak berisi riwayat dari orang-orang yang tidak dikenal. Juga terdapat perkara-perkara yang jauh dari agama dan akal, kesesatan-kesesatan, dakwaan-dakwaan dan perkataan yang batil tidak berbatas, seperti kisah Syeikh Abdul Qadir menghidupkan ayam yang telah mati, dan sebagainya. Semua itu tidak pantas dinisbatkan kepada Syeikh Abdul Qadir al Jailani rahimahullah.”
Di antara keramatnya menurut “Jami’u Karamatil Aulia” adalah sebagai berikut:
1. As-Siraj meriwayatkan bahawa pada suatu hari dalam tahun 521 H, Syeikh Abu Hassan bin Tamim bin Ahmad Al-Baghdadi, seorang pedagang, telah menemui Syeikh Hammad Ad-Dabbas, seraya mengatakan bahawa ia telah menyiapkan suatu kafilah untuk membawa barang dagangan ke Syam, seharga 700 dinar.
Syeikh Hammad menegaskan : “Jika mengadakan perjalanan dalam tahun ini, niscaya anda akan mati terbunuh dan barang- barang daganganmu habis dirampok orang.”
Syeikh Abu Muzhaffar gusar mendengarnya, Ia pun segera menemui Syeikh Abdul Qadir Jailani, memberitahu halnya. Waktu itu Syeikh Abdul Qadir masih muda remaja.
Abdul Qadir berkata: “Berangkatlah, insya Allah anda dalam keadaan selamat dan pulang nanti akan memperoleh keuntungan.”
Abu Muzahaffar pun berangkatlah dan ternyata dagangannya laris dan laku dengan nilai 1000 dinar. Beruntung tiga ratus dinar.
Pada suatu hari Abu Muzhaffar singgah di sebuah tempat pemerahan susu, untuk sesuatu urusan. Dia terlupa, wang yang 1000 dinar itu tertinggal di situ, terletak di atas sebuah rak.
Setelah pulang, ia pun tidur beristirahat dan bermimpi beberapa orang Arab dalam satu kafilah, mengeroyoknya dan menganiayanya dengan lembing. Ketika tersentak, masih terasa sakitnya dan bekas darah jelas kelihatan dilehernya. Waktu itu dia teringat kepada wang 1000 dinar yang tertinggal tadi, lalu dicarinya kembali,. Ternyata wang itu didapatinya dalam keadaan utuh, tiada kurang satu sen pun.
Sesudah peristiwa itu, ia pun pulang ke Baghdad. Dalam perjalanan hatinya berkata “lebih baik berjumpa dahulu dengan Syeikh Hammad, kerana dia lebih tua, sedang Abdul Qadir masih muda walaupun ucapannya benar.” la pun lalu menuju ke pekan, untuk menemuinya. Setelah berjumpa, Syeikh Hammad menyuruhnya supaya lebih dulu menemui Abdul Qadir, karena dia adalah orang yang dikasihi Allah dan telah mendoakannya sebanyak 17 kali, sehingga berkat doanya, ia telah diselamatkan Allah dari pembunuhan.
Mendengar petunjuk itu, ia pun pergi menemui Abdul Qadir. Dan setelah bertemu, Abdul Qadir lebih dahulu berkata: “Menurut Syeikh Hammad 17 kali, tetapi sebenarnya aku mendoakanmu 17 kali dan 17 kali, sampai apa yang anda alami itu terjadi.”
2. Imam Al-Yafi’i berkata : Diriwayatkan bahwa Syeikh Abdul Qadir pada suatu hari, meminta barang titipan kepada seorang yang menyimpannya, karena pemiliknya tidak dapat datang mengambilnya. Orang yang menyimpan barang itu menolak, tidak mau menyerahkannya seraya berkata : “Jika sekiranya aku meminta kepadamu dalam perkara seperti ini, tentu anda pun tidak akan mau memberikannya kepada orang yang tidak berhak menerimanya, karena anda bukan pemiliknya.”
Tiada lama sesudah ucapan itu, tibalah sepucuk surat pemiliknya ketangannya, menyatakan supaya barang titipan itu diserahkan kepada Syeikh Abdul Qadir, untuk disalurkannya kepada fakir miskin.
Maka barang itu pun diserahkannya kepada Syeikh Abdul Qadir. Beliau mengecamnya sedangkan Allah telah merelakannya.
3. Imam Sya ‘rani menyatakan bahwa di antara keramatnya, pada suatu hari is mengambil wudluk. Tiba-tiba seekor burung layang-layang mengencinginya dari atas. Ia pun menoleh ke atas dengan mengangkatkan kepalanya, maka seketika itu juga burung itu terjatuh dan mati. Pakaian yang kena najis itu pun di cucinya kemudian dijualnya dan harganya disedekahkannya.
4. Setelah namanya makin terkenal ke seluruh dunia, maka pada suatu hari berkumpullah 100 orang alim-ulama dan cerdik pandai di Baghdad, hendak menguji ilmu pengetahuannya. Masing-masing telah menyiapkan sejumlah pertanyaan yang akan diajukan kepadanya. Setelah masing-masing mengambil tempat duduk, Syeikh Abdul Qadir diam menundukkan kepalanya, tiada bercakap sepatah pun. Tiba-tiba memancar cahaya sekilas dari dadanya, menembus ke dada hadirin, sehinggn semua pertanyaan.yang akan diajukan tadi, terhapus hilang lenyap dari dada masing-masing. Suasana majlis itu menjadi kalang-kabut, karena mereka menjerit jerit, sambil mengoyak ngoyak baju dan membuangkan kopiah.
Sesudah itu, beliau pun duduk di atas sebuah kursi, siap untuk menjawab semua pertanyaan. Ternyata tiada satu. pun pertan yaan yang dapat diajukan. Dan setelah menyaksikan kenyataan itu, semua hadirin tunduk mengakui kebesaran dan ketinggian ilmu beliau.
5. Abu Al-Fatah Al-Harawi berkata : “Saya pernah menjadi pelayan Syeikh Abdul Qadir selama 40 tahun. Kulihat dia shalat subuh dengan wuduk isyak. Setiap batal, digantinya dengan wuduk baru, kemudian shalat dua rakaat. Selesai shalat isyak, beliau masuk ke ruangan khalwatnya, tiada seorang pun diperkenankan menemuinya. Dia baru keluar dari situ ketika terbit fajar.”6. Kata Al-Harawi lagi : “Pada suatu malam, aku menginap dirumahnya. Pada awal malam; kulihat dia shalat sekejap kemudian berdzikir sampai sepertiga malam pertama, lalu mengucapkan:
“Tuhanlah yang meliputi yang empunya, yang menyaksikan, yang memperhitungkan, yang berbuat, yang amat menciptai, yang mencipta, yang melepaskan, yang menggambarka”
Sesudah mengucapkan kalimat itu, kulihat tubuhnya beransur-ansur kecil kemudian membesar, sesudah itu naik ke udara, sampai lenyap dari pemandanganku.
Pada bahagian kedua dari malam, beliau shalat dan membaca Qur’an sampai pada bahagian ketiga malam. Sujudnya lama sekali, kemudian duduk tafakkur, bertawajjuh menghadap Allah sampai menjelang terbit fajar. Sesudah itu mendoa dengan rendah hati dan tawaduk. Kulihat cahaya mengelilinginya, sampai hilang dari pemandangan.
Kudengar disisinya suara yang mengucapkan: “Salamun ‘alaikum, salamun ‘alaikum”.Dia menjawab salam itu sampai ke luar untuk mengerjakan shalat subuh.
7. Di antara keramatnya, beliau pernah menyatakan bahwa pada suatu hari, ia bertemu dengan Nabi Khidir. Beliau tidak mengenalnya. Nabi Khidir membuat syarat, bahwa beliau tidak boleh menyalahi perintahnya.
Nabi Khidir berkata kepadaku : “Duduk di sini!” Aku pun duduklah di tempat yang ditunjuknya itu selama tiga tahun. Setahun sekali dia datang dan memerintahkan supaya aku tetap duduk di tempat itu sampai dia datang pula pada kali yang lain.”
Selanjutnya Syeikh Abdul Qadir menyatakan : “Aku pernah tinggal dicelah-celah puing kota Madain, untuk beribadah dengan sungguh-sungguh. Aku memakan anggur yang diperah dan tidak minum. Kemudian setahun aku minum air tidak memakan anggur. Dan pada tahun berikutnya aku tidak makan dan tidak minum dan tidak tidur.
Pada suatu malam yang amat dingin, aku tertidur dan bermimpi bersetubuh. Aku pun mandi wajib. Kemudian tidur pula dan bermimpi lagi. Aku pun mandi pula. Kemudian tidur dan bermimpi lagi, dan mandi pula. Malam itu aku bermimpi bersetubuh sampai 40 kali dan mandi 40 kali.
Sesudah itu aku pun naik ke satu jenjang istana Kaisar, dengan harapan tidak akan tidur lagi. Aku pun fana, tenggelam dalam 1001 ilmu dan rahasia kebesaran Allah, sampai aku beristirahat dari dunia kamu ini .”
8. Ibnu Al-Akhdlar berkata : “Pada suatu hari musim dingin, kami mengunjungi Syeikh Abdul Qadir. Walaupun cuaca amat dingin, beliau hanya memakai sehelai baju dan kopiah. Keringat membahasi seluruh tubuhnya. Beberapa orang mengipas-ngipasnya. Keadaannya seperti berada di musim panas yang amat sangat.”
9. Beliau pernah menceritakan halnya, dengan berkata : “Aku pernah mengembara selama 25 tahun ke berbagai negara Selama dalam perjalanan aku hanya memakan tumbuh-tumbuhan dan meminum air sungai. Dan dapat menahan diri tidak minum selama setahun. Allah mengurniaiku kata-kata “kun” (jadilah). Apabila kata “kun” itu ku ucapkan, maka apa yang aku ingini, tercapai. Ku dapati hidangan yang tersedia, maka aku pun memakannya dengan sepuas-puasnya. Dengan “kun” itu, gunung bisa ku belah menjadi kue, lalu ku makan. Pasir bisa menjadi gula, ku taruhkan pasir itu dalam gelas, dan ku tuangkan air laut ke dalamnya, lalu ku minum. Semuanya sudah ku tinggalkan, kerana malu kepada Allah.”
10. AI-Manawi berkata : “Di antara keramatnya, ketika masih bayi, tidak mau menyusu kepada ibunya, pada siang Ramadhan. Orang banyak yang ingin mengetahui awal bulan, bertanya kepalanya. Dan seumur hidupnya, lalat tidak pernah menjatuhkan kotoran kepadanya.”
11. Pada suatu hari, seorang wanita menyerahkan anaknya kepada beliau untuk dididik, dengan mengatakan : “Aku perhatikan, anakku ini sangat tertarik kepada tuan. Sekarang, dia ku serahkan kepada tuan.”
Beliau pun menerimanya dengan segala senang hati, dan mendidiknya dengan sungguh-sungguh mengamalkan thariqat ini. Beberapa waktu kemudian, ibunya datang menjenguk. Dilihatnya badan anaknya kurus-kering, mukanya pucat, akibat kurang makan dan tidur. Ia hanya memakan sepotong roti dari tepung gandum.
la sangat kasihan dan sedih melihat keadaan anaknya, lalu segera menemui Syekh Abdul Qadir. Dilihatnya beliau sedang memakan daging ayam. Lantas ia pun berkata : “Wahai tuan, anda memakan ayam, sedangkan anakku memakan roti?”
Beliau pun meletakkan tangannya ke tulang-tulang ayam itu seraya berkata : “Bangkitlah dengan idzin Allah!” Maka ayam itu pun bangkit, hidup kembali sebagaimana semula.
Sesudah itu, beliau pun berkata : “Nah, apabila anakmu itu sudah bisa berbuat seperti ini, maka dia bolehlah memakan apa saja yang disukainya.”
12. Pada suatu hari seekor burung elang terbang di atas majlis Syekh Abdul Qadir. Burung itu berkicau dengan kuatnya, sehingga mengganggu hadirin. Beliau pun berkata: “Wahai angin, ambil kepala burung itu.” Maka burung itu pun terjatuh ke tanah, kepalanya terpisah dari tubuhnya, masing-masing tercampak ke satu sudut. Beliau pun turun dari atas kerusinya, mengambil bangkai burung tadi dan mengusap-ngusapnya, dengan mengucapkan “bismillahir rahmanir rahim”. Seketika itu juga burung itu hidup kembali.
13. Keramatnya yang lain menurut suatu riwayat, pada suatu hari tiga orang pekerja naik kuda melintasi beliau. Mereka membawa sejumlah minuman keras untuk Raja.
Syeikh Abdul Qadir menyuruh mereka supaya berhenti, tetapi mereka tidak memperdulikannya. Lantas beliau memerintahkan kepada kuda yang membawa mereka, supaya berhenti. Kuda itu pun berhenti, dan Syeikh Abdul Qadir mengambil minum keras itu dan menahan mereka. Mereka merasa kecut dan cemas. Syeikh Abdul Qadir menyatakan, arak itu sudah menjadi cuka. Maka mereka pun membukanya, ternyata apa yang dikatakan beliau itu, benar dan tepat.
14. Pada suatu hari beberapa orang wanita yang menentangnya, datang mengunjungi Syeikh Abdul Qadir, dengan membawa dua buah peti yang berkunci rapat. Mereka berkata : “Cuba teka apa isi peti ini.”
Beliau berkata : “Didalamnya ada seorang bayi sedang duduk.”
Ketika peti dibuka, ternyata apa yang dikatakan beliau itu adalah benar. Kemudian wanita-wanita itu menunjuk ke peti yang sebuah lagi, menanyakan apa pula isinya.
Syeikh Abdul Qadir menjawab : “Isinya, seorang bayi yang sehat, tidak terkena penyakit sampar.” Ketika di buka, ternyata benar didalamnya seorang bayi yang sehat segar-bugar. Beliau memegang ubun-ubunnya, seraya berkata: “Duduklah.” Maka bayi mungil itu pun duduk. Melihat kenyataan ini, maka mereka pun tobat, minta ampun, tidak mau lagi melawannya. Tiga orang di antara hadirin ketika itu mati.
15. Seorang laki-laki dari Baghdad menemuinya seraya berkata “Anak perempuanku telah disambar jin.” Syeikh Abdul Qadir menyuruhnya pergi ke suatu tempat, dan supaya melingkari tempat itu dengan tulisan “bismillah ‘ala niati Abdul Qadir”. Orang itu pun melakukan semua itu. Maka sejumlah jin berdatangan melintasi lingkaran sampai Raja mereka tiba. Raja jin itu tegak di pinggir garis lingkaran tadi, seraya bertanya “Apa keperluanmu?”
Laki-laki itu pun menerangkan tentang anak perempuannya disambar jin tadi. Ketika itu juga Raja jin, menghadapkan si penyambar tadi kehadapannya dengan memukul pundaknya.Orang itu pun berkata kepada Raja jin : “Aku belum pernah melihat kepatuhan orang kepada Syeikh Abdul Qadir, seperti kepatuhanmu ini.”
Raja jin itu pun menjawab : “Benar, dia melihat keadaan kami dari rumahnya, walaupun kami tinggal di ujung bumi. Mereka berlarian daripadanya karena kehebatannya.”
16. Keramatnya yang lain, pada suatu hari beberapa sahabatnya menghadap beliau. Seorang diantaranya tak bisa buang air kecil. Akibatnya dia gelisah menahannya, sehingga mempengaruhi sikap dan gerak-geriknya. Dia menoleh kepada Syeikh Abdul Qadir, seolah-olah minta tolong. Beliau pun turun dari atas tempat duduknya, berhenti di satu tingkatan. Tiba-tiba muncul di atas kepalanya sebuah kepala manusia, seperti kepalanya. Kemudian turun ke satu tingkat lagi, maka muncul pula sebuah kepala yang sama. Kemudian turun ke tingkat bawah, muncul pula dua pundak dan dada. Setiap turun muncul sesuatu, akhirnya nampaklah duduk di atas kursi itu seorang laki-laki yang menyerupainya. Dia bercakap-cakap seperti percakapan Syeikh Abdul Qadir.
Beliau pun bangkit lalu menutupi wajah laki-laki itu dengan lengan bajunya. Tiba-tiba saja orang itu sudah berada di suatu padang pasir, di situ terdapat sebuah sungai dan ditepinya tumbuh sepohon kayu. Dalam keadaan seperti itu, hilanglah penyakit yang dialaminya. Ia pun mengambil wuduk di sungai tadi kemudian shalat. Tatkala memberi salam, Syeikh Abdul Qadir membuangkan tutup kepalanya. Tiba-tiba saja dia sudah berada kembali di majlis itu, sedangkan beliau duduk di atas kursi seperti semula.
Kemudian didapatkan pula bahwa al Kamal Ja’far al Adfwi (nama lengkapnya Ja’far bin Tsa’lab bin Ja’far bin Ali bin Muthahhar bin Naufal al Adfawi), seorang ulama bermadzhab Syafi’i. Ia dilahirkan pada pertengahan bulan Sya’ban tahun 685 H dan wafat tahun 748 H di Kairo. Biografi beliau dimuat oleh al Hafidz di dalam kitab Ad Durarul Kaminah, biografi nomor 1452. al Kamal menyebutkan bahwa asy Syathnufi sendiri tertuduh berdusta atas kisah-kisah yang diriwayatkannya dalam kitab ini.(Dinukil dari kitab At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 509, karya Syeikh Abdul Qadir bin Habibullah as Sindi, Penerbit Darul Manar, Cet. II, 8 Dzulqa’dah 1415 H / 8 April 1995 M.).

Karya
Imam Ibnu Rajab juga berkata, ”Syeikh Abdul Qadir al Jailani Rahimahullah memiliki pemahaman yang bagus dalam masalah tauhid, sifat-sifat Allah, takdir, dan ilmu-ilmu ma’rifat yang sesuai dengan sunnah.”
Karya beliau, antara lain :
1. al Ghunyah Li Thalibi Thariqil Haq,
2. Futuhul Ghaib.
Murid-muridnya mengumpulkan ihwal yang berkaitan dengan nasehat dari majelis-majelis beliau. Dalam masalah-masalah sifat, takdir dan lainnya, ia berpegang dengan sunnah. Ia membantah dengan keras terhadap orang-orang yang menyelisihi sunnah.
Beberapa Ajaran Beliau
Sam’ani berkata, ” Syeikh Abdul Qadir Al Jailani adalah penduduk kota Jailan. Ia seorang Imam bermadzhab Hambali. Menjadi guru besar madzhab ini pada masa hidup beliau.” Imam Adz Dzahabi menyebutkan biografi Syeikh Abdul Qadir Al Jailani dalam Siyar A’lamin Nubala, dan menukilkan perkataan Syeikh sebagai berikut,”Lebih dari lima ratus orang masuk Islam lewat tanganku, dan lebih dari seratus ribu orang telah bertaubat.”
Imam Adz Dzahabi menukilkan perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan Syeikh Abdul Qadir yang aneh-aneh sehingga memberikan kesan seakan-akan beliau mengetahui hal-hal yang ghaib. Kemudian mengakhiri perkataan, ”Intinya Syeikh Abdul Qadir memiliki kedudukan yang agung. Tetapi terdapat kritikan-kritikan terhadap sebagian perkataannya dan Allah menjanjikan (ampunan atas kesalahan-kesalahan orang beriman ). Namun sebagian perkataannya merupakan kedustaan atas nama beliau.”( Siyar XX/451 ). Imam Adz Dzahabi juga berkata, ” Tidak ada seorangpun para kibar masyasyeikh yang riwayat hidup dan karamahnya lebih banyak kisah hikayat, selain Syeikh Abdul Qadir Al Jailani, dan banyak di antara riwayat-riwayat itu yang tidak benar bahkan ada yang mustahil terjadi“.
Syeikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali berkata dalam kitabnya, Al Haddul Fashil,hal.136, ” Aku telah mendapatkan aqidah beliau ( Syeikh Abdul Qadir Al Jaelani ) di dalam kitabnya yang bernama Al Ghunyah. (Lihat kitab Al-Ghunyah I/83-94) Maka aku mengetahui bahwa dia sebagai seorang Salafi. Ia menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah dan aqidah-aqidah lainnya di atas manhaj Salaf. Ia juga membantah kelompok-kelompok Syi’ah, Rafidhah, Jahmiyyah, Jabariyyah, Salimiyah, dan kelompok lainnya dengan manhaj Salaf.” (At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 509, karya Syeikh Abdul Qadir bin Habibullah As Sindi, Penerbit Darul Manar, Cet. II, 8 Dzulqa’dah 1415 H / 8 April 1995 M.)
Inilah tentang beliau secara ringkas. Seorang ‘alim Salafi, Sunni, tetapi banyak orang yang menyanjung dan membuat kedustaan atas nama beliau. Sedangkan beliau berlepas diri dari semua kebohongan itu. Wallahu a’lam bishshawwab.

Awal Kemasyhuran
Al-Jaba’i berkata bahwa Syeikh Abdul Qadir pernah berkata kepadanya, “Tidur dan bangunku sudah diatur. Pada suatu saat dalam dadaku timbul keinginan yang kuat untuk berbicara. Begitu kuatnya sampai aku merasa tercekik jika tidak berbicara. Dan ketika berbicara, aku tidak dapat menghentikannya. Pada saat itu ada dua atau tiga orang yang mendengarkan perkataanku. Kemudian mereka mengabarkan apa yang aku ucapkan kepada orang-orang, dan merekapun berduyun-duyun mendatangiku di masjid Bab Al-Halbah. Karena tidak memungkinkan lagi, aku dipindahkan ke tengah kota dan dikelilingi dengan lampu. Orang-orang tetap datang di malam hari dengan membawa lilin dan obor hingga memenuhi tempat tersebut. Kemudian, aku dibawa ke luar kota dan ditempatkan di sebuah mushalla. Namun, orang-orang tetap datang kepadaku, dengan mengendarai kuda, unta bahkan keledai dan menempati tempat di sekelilingku. Saat itu hadir sekitar 70 orang para wali radhiallahu ‘anhum]].
Kemudian, Syeikh Abdul Qadir melanjutkan, “Aku melihat Rasulallah SAW sebelum dzuhur, beliau berkata kepadaku, “anakku, mengapa engkau tidak berbicara?”. Aku menjawab, “Ayahku, bagaimana aku yang non arab ini berbicara di depan orang-orang fasih dari Baghdad?”. Ia berkata, “buka mulutmu”. Lalu, beliau meniup 7 kali ke dalam mulutku kemudian berkata, ”bicaralah dan ajak mereka ke jalan Allah dengan hikmah dan peringatan yang baik”. Setelah itu, aku shalat dzuhur dan duduk serta mendapati jumlah yang sangat luar biasa banyaknya sehingga membuatku gemetar. Kemudian aku melihat Ali r.a. datang dan berkata, “buka mulutmu”. Ia lalu meniup 6 kali ke dalam mulutku dan ketika aku bertanya kepadanya mengapa beliau tidak meniup 7 kali seperti yang dilakukan Rasulallah SAW, beliau menjawab bahwa beliau melakukan itu karena rasa hormat beliau kepada Rasulallah SAW. Kemudian, aku berkata, “Pikiran, sang penyelam yang mencari mutiara ma’rifah dengan menyelami laut hati, mencampakkannya ke pantai dada , dilelang oleh lidah sang calo, kemudian dibeli dengan permata ketaatan dalam rumah yang diizinkan Allah untuk diangkat”. Ia kemudian menyitir, “Dan untuk wanita seperti Laila, seorang pria dapat membunuh dirinya dan menjadikan maut dan siksaan sebagai sesuatu yang manis.”
Dalam beberapa manuskrip didapatkan bahwa Syeikh Abdul Qadir berkata, ”Sebuah suara berkata kepadaku saat aku berada di pengasingan diri, “kembali ke Baghdad dan ceramahilah orang-orang”. Aku pun ke Baghdad dan menemukan para penduduknya dalam kondisi yang tidak aku sukai dan karena itulah aku tidak jadi mengikuti mereka”. “Sesungguhnya” kata suara tersebut, “Mereka akan mendapatkan manfaat dari keberadaan dirimu”. “Apa hubungan mereka dengan keselamatan agamaku/keyakinanku” tanyaku. “Kembali (ke Baghdad) dan engkau akan mendapatkan keselamatan agamamu” jawab suara itu.
Aku pun membuat 70 perjanjian dengan Allah. Di antaranya adalah tidak ada seorang pun yang menentangku dan tidak ada seorang muridku yang meninggal kecuali dalam keadaan bertaubat. Setelah itu, aku kembali ke Baghdad dan mulai berceramah.
Beberapa Kejadian Penting
Suatu ketika, saat aku berceramah aku melihat sebuah cahaya terang benderang mendatangi aku. “Apa ini dan ada apa?” tanyaku. “Rasulallah SAW akan datang menemuimu untuk memberikan selamat” jawab sebuah suara. Sinar tersebut semakin membesar dan aku mulai masuk dalam kondisi spiritual yang membuatku setengah sadar. Lalu, aku melihat Rasulallah SAW di depan mimbar, mengambang di udara dan memanggilku, “Wahai Abdul Qadir”. Begitu gembiranya aku dengan kedatangan Rasalullah SAW, aku melangkah naik ke udara menghampirinya. Ia meniup ke dalam mulutku 7 kali. Kemudian Ali datang dan meniup ke dalam mulutku 3 kali. “Mengapa engkau tidak melakukan seperti yang dilakukan Rasulallah SAW?” tanyaku kepadanya. “Sebagai rasa hormatku kepada Rasalullah SAW” jawab beliau.
Rasulallah SAW kemudian memakaikan jubah kehormatan kepadaku. “apa ini?” tanyaku. “Ini” jawab Rasulallah, “adalah jubah kewalianmu dan dikhususkan kepada orang-orang yang mendapat derajad Qutb dalam jenjang kewalian”. Setelah itu, aku pun tercerahkan dan mulai berceramah.
Saat Nabi Khidir As. Datang hendak mengujiku dengan ujian yang diberikan kepada para wali sebelumku, Allah membukakan rahasianya dan apa yang akan dikatakannya kepadaku. Aku berkata kepadanya, ”Wahai Khidir, apabila engkau berkata kepadaku, “Engkau tidak akan sabar kepadaku”, aku akan berkata kepadamu, “Engkau tidak akan sabar kepadaku”. “Wahai Khidir, Engkau termasuk golongan Israel sedangkan aku termasuk golongan Muhammad, inilah aku dan engkau. Aku dan engkau seperti sebuah bola dan lapangan, yang ini Muhammad dan yang ini ar Rahman, ini kuda berpelana, busur terentang dan pedang terhunus.”
Al-Khattab pelayan Syeikh Abdul Qadir meriwayatkan bahwa suatu hari ketika beliau sedang berceramah tiba-tiba beliau berjalan naik ke udara dan berkata, “Hai orang Israel, dengarkan apa yang dikatakan oleh kaum Muhammad” lalu kembali ke tempatnya. Saat ditanya mengenai hal tersebut beliau menjawab, ”Tadi Abu Abbas Al-Khidir As lewat dan aku pun berbicara kepadanya seperti yang kalian dengar tadi dan ia berhenti”.

Hubungan Guru dan Murid
Guru dan teladan kita Syeikh Abdul Qadir berkata, ”Seorang Syeikh tidak dapat dikatakan mencapai puncak spiritual kecuali apabila 12 karakter berikut ini telah mendarah daging dalam dirinya.
1. Dua karakter dari Allah yaitu dia menjadi seorang yang sattar (menutup aib) dan ghaffar (pemaaf).
2. Dua karakter dari Rasulullah SAW yaitu penyayang dan lembut.
3. Dua karakter dari Abu Bakar yaitu jujur dan dapat dipercaya.
4. Dua karakter dari Umar yaitu amar ma’ruf nahi munkar.
5. Dua karakter dari Utsman yaitu dermawan dan bangun (tahajjud) pada waktu orang lain sedang tidur.
6. Dua karakter dari Ali yaitu alim (cerdas/intelek) dan pemberani.
Masih berkenaan dengan pembicaraan di atas dalam bait syair yang dinisbatkan kepada beliau dikatakan:
Bila lima perkara tidak terdapat dalam diri seorang syeikh maka ia adalah Dajjal yang mengajak kepada kesesatan.
Dia harus sangat mengetahui hukum-hukum syariat dzahir, mencari ilmu hakikah dari sumbernya, hormat dan ramah kepada tamu, lemah lembut kepada si miskin, mengawasi para muridnya sedang ia selalu merasa diawasi oleh Allah.
Syeikh Abdul Qadir juga menyatakan bahwa Syeikh al Junaid mengajarkan standar al Quran dan Sunnah kepada kita untuk menilai seorang syeikh. Apabila ia tidak hafal al Quran, tidak menulis dan menghafal Hadits, dia tidak pantas untuk diikuti.
Menurut saya (penulis buku) yang harus dimiliki seorang syeikh ketika mendidik seseorang adalah dia menerima si murid untuk Allah, bukan untuk dirinya atau alasan lainnya. Selalu menasihati muridnya, mengawasi muridnya dengan pandangan kasih. Lemah lembut kepada muridnya saat sang murid tidak mampu menyelesaikan riyadhah. Dia juga harus mendidik si murid bagaikan anak sendiri dan orang tua penuh dengan kasih dan kelemahlembutan dalam mendidik anaknya. Oleh karena itu, dia selalu memberikan yang paling mudah kepada si murid dan tidak membebaninya dengan sesuatu yang tidak mampu dilakukannya. Dan setelah sang murid bersumpah untuk bertobat dan selalu taat kepada Allah baru sang syaikh memberikan yang lebih berat kepadanya. Sesungguhnya bai’at bersumber dari hadits Rasulullah SAW ketika beliau mengambil bai’at para sahabatnya.
Kemudian dia harus mentalqin si murid dengan zikir lengkap dengan silsilahnya. Sesungguhnya Ali ra. bertanya kepada Rasulallah SAW, “Wahai Rasulallah, jalan manakah yang terdekat untuk sampai kepada Allah, paling mudah bagi hambanya dan paling afdhal di sisi-Nya. Rasulallah berkata, “Ali, hendaknya jangan putus berzikir (mengingat) kepada Allah dalam khalwat (kontemplasinya)”. Kemudian, Ali ra. kembali berkata, “Hanya demikiankah fadhilah zikir, sedangkan semua orang berzikir”. Rasulullah berkata, “Tidak hanya itu wahai Ali, kiamat tidak akan terjadi di muka bumi ini selama masih ada orang yang mengucapkan ‘Allah’, ‘Allah’. “Bagaimana aku berzikir?” tanya Ali. Rasulallah bersabda, “Dengarkan apa yang aku ucapkan. Aku akan mengucapkannya sebanyak tiga kali dan aku akan mendengarkan engkau mengulanginya sebanyak tiga kali pula”. Lalu, Rasulallah berkata, “Laa Ilaaha Illallah” sebanyak tiga kali dengan mata terpejam dan suara keras. Ucapan tersebut di ulang oleh Ali dengan cara yang sama seperti yang Rasulullah lakukan. Inilah asal talqin kalimat Laa Ilaaha Illallah. Semoga Allah memberikan taufiknya kepada kita dengan kalimat tersebut.
Syeikh Abdul Qadir berkata, ”Kalimat tauhid akan sulit hadir pada seorang individu yang belum di talqin dengan zikir bersilsilah kepada Rasullullah oleh mursyidnya saat menghadapi sakaratul maut”.
Karena itulah Syeikh Abdul Qadir selalu mengulang-ulang syair yang berbunyi: Wahai yang enak diulang dan diucapkan (kalimat tauhid) jangan engkau lupakan aku saat perpisahan (maut).
Lain-Lain
Kesimpulannya beliau adalah seorang ‘ulama besar. Apabila sekarang ini banyak kaum muslimin menyanjung-nyanjungnya dan mencintainya, maka itu adalah suatu kewajaran. Bahkan suatu keharusan. Akan tetapi kalau meninggi-ninggikan derajat beliau di atas Rasulullah shollallahu’alaihi wasalam, maka hal ini merupakan kekeliruan yang fatal. Karena Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasalam adalah rasul yang paling mulia di antara para nabi dan rasul. Derajatnya tidak akan terkalahkan di sisi Allah oleh manusia manapun. Adapun sebagian kaum muslimin yang menjadikan Syeikh Abdul Qadir sebagai wasilah (perantara) dalam do’a mereka, berkeyakinan bahwa do’a seseorang tidak akan dikabulkan oleh Allah, kecuali dengan perantaranya. Ini juga merupakan kesesatan. Menjadikan orang yang meninggal sebagai perantara, maka tidak ada syari’atnya dan ini diharamkan. Apalagi kalau ada orang yang berdo’a kepada beliau. Ini adalah sebuah kesyirikan besar. Sebab do’a merupakan salah satu bentuk ibadah yang tidak diberikan kepada selain Allah. Allah melarang mahluknya berdo’a kepada selain Allah. “Dan sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorang pun di dalamnya di samping (menyembah) Allah. (QS. Al-Jin: 18)”
Jadi sudah menjadi keharusan bagi setiap muslim untuk memperlakukan para ‘ulama dengan sebaik mungkin, namun tetap dalam batas-batas yang telah ditetapkan syari’ah. Akhirnya mudah-mudahan Allah senantiasa memberikan petunjuk kepada kita sehingga tidak tersesat dalam kehidupan yang penuh dengan fitnah ini.
Pada tahun 521 H/1127 M, dia mengajar dan berfatwa dalam semua madzhab pada masyarakat sampai dikenal masyarakat luas. Selama 25 tahun Syeikh Abdul Qadir menghabiskan waktunya sebagai pengembara sufi di Padang Pasir Iraq dan akhirnya dikenal oleh dunia sebagai tokoh sufi besar dunia Islam. Selain itu dia memimpin madrasah dan ribath di Baghdad yang didirikan sejak 521 H sampai wafatnya di tahun 561 H. Madrasah itu tetap bertahan dengan dipimpin anaknya Abdul Wahab (552-593 H/1151-1196 M), diteruskan anaknya Abdul Salam (611 H/1214 M). Juga dipimpin anak kedua Syeikh Abdul Qadir, Abdul Razaq (528-603 H/1134-1206 M), sampai hancurnya Baghdad pada tahun 656 H/1258 M.
Syeikh Abdul Qadir juga dikenal sebagai pendiri sekaligus penyebar salah satu tarekat terbesar didunia bernama Tarekat Qodiriyah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sayyidina Syekh Abi Bakar bin Salim

Sayyidina Syekh Abi Bakar bin Salim